Showing posts with label langit. Show all posts
Showing posts with label langit. Show all posts

Sunday, March 27, 2016

mata, benang, pagi



lalu badan di balik selimut
bergerak menggeliat

dia terjaga dari tidur
matanya bertemu dengan mataku
tidak sengaja

sejenak tak beranjak

serepih detik

(lagu hening,
binar lembut dari jendela,
udara pagi)

lalu pergi lagi pandangnya

detik disudahi
dengan basa-basi pagi hari

_____


bolehkah aku tinggal sejenak di detik itu?
memandang benang-benang halus
di balik matamu

bermimpi yang manis-manis
lalu patah hati lagi
ketika ruang nyata merasuk kembali

benang-benang halus
apakah kamu masih punya itu?

_____

ah, mungkin hanya ilusi pagi
mungkin pikiran sedang kurang isi
atau aku terlalu sering baca fiksi



Friday, April 10, 2015

jingga




dia yang dipeluk jingga
dalam ruang kotak gerak
silih beranjak pagi dan petang

tahukah dia
ada yang diam-diam bersepakat
dengan hamparan rintik dan jalanan ramai
dan sepatu yang terendam basah
menunggu sore hari di ujung pekan

di hadap, punggung, atau bersinggung lengan
ada yang sibuk sendiri dengan layar pendar
merahasiakan bunga-bunga rikuh
yang diam-diam muncul
di dalam diamku


Wednesday, August 20, 2014

ibu mawar


ibu mawar menatap matahari
memandang bulan
merenungi langit

di taman kecil dia hidup
bersama tanam-tanaman hijau saudaranya
geranium, sedap malam, sukulen, kamboja
dan si pemakan serangga

angin selalu singgah atau sekadar lewat
untuk merinai hujan
atau meniup lagu

Ibu mawar tidak pernah ingin tahu
hidup di luar taman kecil
nyanyian angin yang lain
taman tanpa pemakan serangga
atau kapan kelopaknya akan layu

menatap matahari
memandang bulan
merenungi langit
rindu pada benih
cinta untuk pucuk

itu saja cukup
sumber nafasnya

- pucuk




Tuesday, October 8, 2013

roti gambang



Sore hari ini saya ada di warung kopi mahal lagi. Setelah baru saja tadi pagi sarapan di warteg pinggir jalan sambil menunggu dijemput. Dua potong tahu goreng empuk, dua butir perkedel enak, dan segelas teh manis hangat dibayar hanya seharga 5500 rupiah. Sementara di warung kopi ini, saya beli minuman blender rasa kopi dengan harga 38000 rupiah, demi mengejar masa promosi bulan Oktober, buy one get one, yang ujung-ujungnya bikin bangkrut juga.

Sudah sebulan lebih saya tidak ke warung kopi yang nyaman. Pernah beberapa kali sewaktu masih menginap di Bogor, tapi warung kopi di sana tidak senyaman disini. Karena kebanyakan pengunjungnya kalangan keluarga, rasanya jadi aneh kalau saya duduk sendiri berlama-lama. Pengunjung warung kopi ini hampir semua adalah orang-orang kantoran yang sibuk. Baik yang sedang mengadakan pertemuan maupun yang sibuk sendiri dengan gadgetnya, jadinya saya transparan. Selama apapun saya disini tidak akan ada yang acuh, kecuali mungkin barista-barista yang berdiri menghadap ke arah tempat saya berselonjor.

Sore ini udaranya jingga. Tidak ada hujan. Hari ini saya bisa pulang lebih awal setelah kunjungan ke klien yang kebetulan berada di dekat daerah Sudirman. Jadilah saya kesini, sembari sedikit mengingat kembali sewaktu saya masih menganggur dan menghabiskan beberapa waktu konslet sendirian. Memikirkan yang jauh-jauh yang tidak tergapai. Menyelami udara dalam warung kopi ini yang penuh senyawa rindu yang salah. Menghitung butiran sepi yang berwujud debu tebal di atas buku coklat. Melarut dalam rahasia yang dilagukan hujan di balik jendela.

Sore ini udaranya jingga. Tidak ada hujan. Saya kini seorang pekerja kantoran yang sebagian besar ruang pikirnya harus dibagi untuk urusan pekerjaan. Ruang untuk hujan dan segala perihal yang bikin saya kesetrum harus diperkecil karena 'tidak praktis' untuk urusan kerja dan pencarian uang. Sekarang senyawa rindu tidak lagi menyesakkan, hampir hilang, berubah wanginya. Sepi masih timbul tenggelam di sela-sela waktu, tapi saya terlalu repot untuk peduli. Hujan kadang datang hanya berbentuk raga, tidak hadir jiwanya.

Sore ini udaranya jingga. Tidak ada hujan. Saya cemas, mengais-ngais sebongkah lara yang tidak juga ketemu.



Sunday, July 14, 2013

minggu sore





Semesta selalu punya caranya sendiri untuk mendewasakan kita. Sekalipun sudah menutup diri supaya kedap rasa, tidak terluka, atau sekedar malas jadi dewasa; selalu ada celah untuk merembes masuk, merasuk, mengirim orang-orang istimewa untuk mendesak diri jadi dewasa.

Bertahan atau berkilah adalah percuma. Dia adalah sang Maha. Yang perlu dilakukan yaitu merelakan diri. Biarkan orang-orang itu datang. Biarkan diri mengalami segala rasa. Biarkan semesta membentuk menempa diri. Hidup ada supaya kita mengalami.

Seorang penulis pernah menyatakan bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Selama ini saya setuju dengan pendapat itu. Tapi tidak untuk saat ini. Mungkin tidak pernah lahir adalah nasib kurang beruntung. Tidak pernah mengalami hidup.

Di kejernihan yang sejenak ini, saya berterimakasih. Atas adanya saya, setiap makhluk, dan semua materi di semesta ini. Atas hidup yang saya punya. Saya siap, saya ingin mengalami.


Di warung kopi sepi. Minggu sore biasa yang tiba-tiba jernih.


Sunday, November 25, 2012

tanya kutu